Bolak Balik ke Dokter Karena TB

Taksi biru itu membawa kami (saya, Raissa yang saat itu masih berusia 2 bulan, dan mbak asisten rumah tangga) ke sebuah rumah sakit swasta di daerah BSD, Tangerang. Sakit kepala dan batuk yang tak henti serta benjolan di leher mendorong saya memeriksakan diri di sini. Rumah sakit ini memang cukup jauh dari rumah, walah masih satu kabupaten/kotamadya. Dari Bintaro tempat saya tinggal, memakan waktu kurang lebih empat puluh lima menit di perjalanan. Rumah sakit ini saya pilih karena menerima asuransi dari tempat suami bekerja.

Mbak (saat itu saya masih mempekerjakan ART) menggendong Raissa dan menunggu di luar. Saya masuk ke ruangan dokter (kalau tak salah, dokter penyakit dalam) dan menceritakan keluhan saya. Dokter meraba leher saya dan bilang bahwa saya terkena infeksi kelenjar. Beliau meresepkan sejumlah obat dan meminta saya datang untuk kontrol setelah obat habis. Beliau tak menjelaskan banyak, seberapa bahaya atau akibat apa. Saya sendiri tak banyak bertanya. Teringat bayi Raissa di luar, saya segera pulang.

Setelah obat habis, benjolan di leher berkurang. Kesibukan mengurus bayi dan keluarga kecil saya menyebabkan saya lalai datang kembali ke dokter. Akibatnya, kurang lebih setahun kemudian benjolan di leher muncul kembali disertai berat badan yang berkurang dan sakit di kepala.

(Ilustrasi dari sini)

Kali ini saya periksakan ke dokter umum di rumah sakit yang sama. Dokter umum akan memberi rekomendasi ke dokter bedah. Di dokter bedah leher saya diperiksa. Saya diminta tes darah dan rontgen di leher. Hasil tes tersebut tidak bisa langsung diterima. Pada pertemuan dengan dokter bedah saat berikutnya, hasil tes dibaca oleh dokter bedah. Beliau menjelaskan hasil tes dengan panjang lebar, bahwa saya terkena Tuberkulosis yang menyerang kelenjar getah bening. Beliau juga merencanakan pemeriksaan selanjutnya. Yaitu, saya harus menjalani biopsi dan pengobatan selama enam bulan.

Lebih dari tiga kali saya harus bolak balik ke dokter. Naik taksi atau motor, dibonceng suami. Masya Allah pegalnya bokong saya kalau naik motor Bintaro-BSD. Sambil menggendong Raissa pula. Sementara Zaidan, saya titipkan ke kakak ipar.

Saya bersyukur mendapat asuransi dari kantor suami, walau tidak penuh dan kadang untuk obat tertentu tidak di-cover. Karena pengobatan TB ini tidak murah. Kita harus bolak balik ke dokter, tes ini itu, dan biaya obat berbulan-bulan. Bisa dibayangkan, jika dirupiahkan berapa dana yang harus dikeluarkan. Untuk bensin, tes darah, rontgen, biopsi, obat-obatan. Apalagi selain obat dari dokter, suami juga membelikan saya obat herbal dari bahan alami yang harganya tak murah untuk membantu kesembuhan saya. Di saat begini, kesehatan terasa sangat mahal.

Saya tak bisa membayangkan jika penyakit TB/TBC ini terjadi pada mereka yang kondisinya ekonominya di bawah saya. Mungkin, bagi mereka memikirkan kehidupan sehari-hari saja sudah menjadi beban. Apalagi jika ditambah dengan sakit TB. Semakin berat saja hidup yang dialami.

Untungnya, pemerintah kita mempunyai program pemberantasan TB dan menyediakan obat gratis di layanan kesehatan terdekat. Sayangnya, terkadang administrasi yang komplek membuat pengobatan TB menjadi rumit dilakukan. Seperti pengalaman mbak Susan, seorang blogger yang bapaknya juga terkena TBC. Kisahnya bisa dibaca di link ini.

(Ilustrasi dari sini)

Saya juga bersyukur Allah SWT masih memberikan nikmat hidup sampai detik ini. Tuberkulosis (khususnya Paru) membunuh lebih banyak kaum muda dan wanita dibandingkan dengan penyakit menular lainnya. Di seluruh dunia terdapat sekitar 2-3 juta orang meninggal akibat Tuberkulosis Paru setiap tahunnya. Di Indonesia, setiap tahun terdapat 67.000 kasus meninggal karena TB atau sekitar 186 orang per hari. TB adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan peringkat 3 dalam daftar 10 penyakit pembunuh tertinggi di Indonesia (SKRT 2004). Selain itu pada usia 5 tahun ke atas, TB merupakan penyebab kematian nomor 4 di perkotaan setelah stroke, Diabetes dan hipertensi dan nomor 2 dipedesaan setelah stroke.

Tuberkulosis sempat mengintai nyawa saya dan kehidupan ekonomi kami. Waktu saya yang berharga bersama keluarga dan masyarakat juga tersita. Saya tak bisa maksimal melayani keluarga. Karena batuk tak henti saat malam, saya seringkali tak bisa tidur. Karena mudah lelah, saya juga memilih berdiam dan istirahat di rumah ketimbang berinteraksi bersama tetangga. Bahkan, karena beban pikiran dan kecapean mengantar saya bolak balik ke rumah sakit, suami saya pun sering sakit dan akhirnya terdeteksi darah tinggi.

Semuanya memang lebih baik sekarang. Saya dan suami sudah berobat dan terus berusaha menjaga kesehatan keluarga kecil kami. Satu hal yang juga masih saya perjuangkan adalah masalah pelupa saya. Konon, gangguan kelenjar tiroid itu adalah satu yang membuat seseorang menjadi pelupa di usia muda. Menuliskan pengalaman ini adalah satu bentuk terapi saya melawan lupa. Saya juga mengingatkan anda, jika anda atau keluarga anda menemukan gejala TB segeralah periksakan diri. Jangan tunda lagi. 

Tulisan diikutsertakan dalam Blog Competition Temukan dan Sembukan TB serial #6: Beban Ekonomi dan Kematian Akibat TB

Sumber: tanyadok.com, tbindonesia.or.id



Comments

  1. Singkat, padat, dan jelas tulisan tentang TB ini mak... duuh pengalamannya bikin saya terharu... semoga nggak kejadian lagi ya mak :) Semoga TB ini segera diberantas. aaamiin. sukses untuk lombanya mak, semoga menang

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin..singkat soalnya menjelang deadline mba Aida :D kalau pengalaman sendiri lbh mudah diceritakan drpd teori2 TB

      Delete
  2. skrng lagi musim ya penyakit TB, mengerikan

    ReplyDelete
  3. Sangat mengerikan ya penyakit yang satu ini kemarin saya mengalaminya dan alhamdulillah saya sudah sembuh sekarang.

    ReplyDelete

Post a Comment

Terimakasih sudah meninggalkan komentar yang baik dan sopan.

Popular posts from this blog

6 Perbedaan Belanja Online dan Toko Konvensional

Cara Mudah Mendapatkan Kuota Internet Gratis

Semakin Bersyukur di Usia Cantik