Cerpen: Surat Untuk Ayah dan Ibu
(Dimuat di Majalah Anggun edisi Oktober 2005)
Subuh baru saja berlalu. Suara puji-pujian dari mesjid di kejauhan masih terdengar lamat-lamat. Rheina, teman sekamar Alin masih tertidur. Semalam dia pulang larut sekali, katanya habis rapat untuk acara bakti sosial besok yang diadakan oleh LSM tempat dia bekerja. Alin tidak jadi membangunkannya ketika ingat Rheina sedang tidak shalat.
Alin baru saja menyelesaikan rakaat terakhirnya ketika telepon genggamnya berbunyi. Entah kenapa hatinya langsung gelisah melihat kode area yang tertera di layar HP. Bandung, pasti dari ibunya!
Alin mendesah lalu menarik nafas. Dengan berat hati diterimanya panggilan itu. "Halo, Assalaamu’alaikum.." Alin berdiri. Tangan kirinya membuka gorden jendela. Diluar masih gelap. Dari lantai dua kamar kosnya hanya atap-atap rumah dan kerlap-kerlip cahaya lampu penerangan yang terlihat.
"Wa’alaikumsalam. Alin, sudah bangun nak?" Suara di seberang terdengar segar. Suara ibu. Beliau memang terbiasa bangun pagi. Jam tiga pagi beliau sudah memulai aktivitas, shalat malam, menjerang air, memasak, dan menyiapkan keperluan keluarga setiap hari. Setelah itu Ibu mengurus ratusan bunga yang dijual di depan rumah dibantu dua orang pekerja. Menyiram, memberi pupuk, memotong daun yang dimakan ulat, menyayangi mereka seperti manusia.
"Sudah dari tadi, Bu. Alin sudah shalat Subuh. Ibu sudah shalat belum?"
"Sudah. Bagus seperti itu, nak. Anak gadis memang jangan males-malesan, harus bangun pagi supaya enteng jodoh." Aduh, itu lagi yang disinggung Ibu. Alin malas kalau Ibu sudah membicarakan tentang pendamping hidup. Bukan apa-apa, Alin sudah jengah karena terlalu seringnya hal itu diungkit.
"Iya, Bu". Jawab Alin singkat
"Kamu minggu ini pulang tidak? Jadi kan membawa calonmu ke rumah?"
Aduh lagi, ternyata Ibu masih mengingatnya. Alin tidak mengira Ibu akan menagih janji seperti ini. "Mm..ng, eh anu Bu. Alin tidak bisa pulang minggu ini. Alin ada acara. Mungkin minggu depannya lagi atau kapan-kapan saja ya Bu. Ng, Alin tidak tahu pasti, Bu. Maaf ya, Bu" Suara Alin terdengar berat. Gugup.
"Tidak jadi lagi? Ini sudah yang keberapa, Alin? Ingat usia kamu, setahun lagi sudah kepala tiga. Apa kamu tidak ingin cepat-cepat membahagiakan Bapak dan Ibu yang sudah semakin tua? Apa kamu mau begitu terus sepanjang hidupmu? Ibu jadi tidak yakin kamu serius dengan pernikahan. Ada saja alasanmu kalau Ibu minta bertemu calonmu. Sekarang, kamu ada acara. Minggu lalu calonmu yang ada acara. Kumaha atuh, sibuk terus begitu?"
Alin menggigit bibir, tidak tahu harus berkata apa. Lama dia terdiam. Di seberang juga tidak terdengar satu patah kata pun. Sampai akhirnya terucap dari bibir Alin, "Maafkan Alin, Bu."
Ada desahan nafas panjang di telinga Alin. Ibu berkata lagi, "Ibu juga minta maaf, pagi-pagi sudah mengganggu kamu. Sudahlah, Assalaamu’alaikum". Suara di seberang terputus.
Alin menjatuhkan telepon genggamnya di ranjang, disusul tubuhnya yang masih berbalut mukena. Dia menggigit bibir. Selalu begini akhir pembicaraannya dengan ibu. Dimulai dengan perasaan rindu dan sapaan-sapaan hangat. Lalu akan menyinggung tentang hal yang sebenarnya sangat menyakitkan hati Alin. Selanjutnya berakhir dengan perasaan saling kecewa. Pada akhirnya diluar kesadarannya Alin terpaksa mengarang cerita macam-macam. Ada perasaan bersalah dan menyesal setelah dia berbohong pada ibu tentang calon-calon suaminya. Ibu begitu polos dan lugu, percaya saja apa yang dikatakannya. Namun itu menjadikannya candu karena ternyata kebohongannya tidak berhenti di situ saja. Ibu terus bertanya dan dia pun harus berbohong.
Tiga tahun terakhir ini Alin sudah berhasil menjadi seorang artis. Aktingnya begitu mempesona sehingga ibu percaya sepenuhnya pada dia. Dia mengarang cerita tentang Anton, seorang ekspatriat muda yang akan menikahinya tetapi tidak jadi karena Anton harus menerima kenyataan bahwa dia dijodohkan oleh keluarganya dengan gadis lain yang lebih kaya.
Ada juga Habib, seorang aktivis HAM di sebuah LSM yang sangat gigih dan selalu semangat. Seminggu menjelang keberangkatannya ke Malaysia untuk memperjuangkan nasib TKI di negeri jiran itu, dia mengalami kecelakaan. Ibunya Alin sebenarnya ingin menengok Habib ke Jakarta, tapi dengan pintarnya Alin melarang dengan alasan Habib sudah meninggal dan mayatnya sudah dikubur di tanah kelahirannya di Makassar.
Dan baru-baru ini Alin mengenalkan ibunya pada seorang pengusaha muda yang super sibuk bernama Azizi. Acaranya begitu banyak karena dia membawahi beberapa perusahaan, sehingga dia belum sempat juga sowan ke rumah Ibu.
Sekarang Alin kena batunya. Ibu berkali-kali menagih janji dan Alin selalu mengelak. Alin sadar dia tidak bisa terus-terusan begini, berbohong sepanjang hidupnya. Habis, Alin bosan ditanya terus tentang masalah ini. Dia merasa tertekan dengan keinginan ibu yang ingin dia segera menikah.
Bukan Alin tidak mau, bukan pula Alin tidak ikhtiar. Lima tahun lalu dia hampir menikah dengan Dandi, teman semasa kuliah. Begitu lulus sebagai sarjana dan mendapat pekerjaan tetap di Jakarta, Dandi langsung melamar Alin. Tidak tahunya dua bulan kemudian calon suaminya dipindahtugas ke Medan. Alin yang saat itu sedang menjajaki pekerjaan barunya sebagai Account Executive di sebuah perusahaan farmasi terkenal di Jakarta merasa kaget. Sebelumnya tidak ada tanda-tanda Dandi akan pindah, padahal mereka sudah akan memasuki jenjang pernikahan. Hanya ada sedikit kata-kata pamitan sehari menjelang keberangkatan. Dandi begitu bersemangat dengan pekerjaan barunya.
Tanpa memberitahu Dandi, Alin bersiap-siap keluar dari pekerjaan yang baru dirintisnya. Orangtua Alin dan Dandi sudah menentukan waktu dan tempat pernikahan. Alin ingin memberikan kejutan pada Dandi. Beberapa kali Alin menghubungi Dandi, tapi baik telepon rumah maupun handphonenya tidak bisa dihubungi. Teman-teman sekantor selalu bilang Dandi tidak ada di tempat jika Alin menghubungi.
Lewat seorang saudara jauh yang tinggal di Medan, Alin berusaha menghubungi Dandi. Sayangnya bukan berita baik yang Alin dapat. Dandi ternyata sudah menikah dengan gadis Medan, dua bulan setelah kepindahannya ke kota itu. Tanpa memberitahukan ayah ibunya di Bandung.
Betapa malunya orangtua Dandi mendengar berita itu. Tetapi Alin lebih malu lagi. Dia sudah menyiapkan undangan dan semua teman-teman dekat sudah dibertahu. Berita itu sangat mengguncang hati Alin. Berhari-hari Alin seperti orang frustasi. Kerjanya hanya menangis dan melamun. Beruntung pertahanan dirinya kuat. Dia segera bangkit dan belajar menerima kenyataan.
Alin tidak jadi keluar dari pekerjaannya, malahan dia jadi seorang workaholic. Tidak heran dalam tiga tahun dia sudah bisa mencapai posisi marketing manager di perusahaannya. Tapi jeleknya dia jadi sensitif, tertutup dan sedikit phobi pada yang namanya lelaki. Dan yang pasti, dia jadi tukang cerita yang hebat pada ibunya!
"Ada apa, Lin? Kamu ada acara ya hari ini? Tidak jadi ikut aku ke Manggarai dong?"
Alin tersentak. Dia terbangun dari lamunannya. Rheina ternyata sudah bangun dan duduk di sampingnya sambil mengusap-usap mata.
"Eh Rhei, sudah bangun ya. Kukira masih tidur. Nggak kok, aku kosong hari ini. Aku jadi ikut kamu ke sana. Mm..aku senang dengan acara sosial seperti itu. Mudah-mudahan bisa mengobati kejenuhanku."
"Oke." Rheina tersenyum lalu berjalan ke kamar mandi. Matanya kelihatan masih mengantuk.
***
Alin terdiam. Menunduk. Di depan mukanya Rheina berbicara dengan nada tinggi. "Kamu sadar tidak sih dengan apa yang kamu lakukan, Lin? Kamu telah bohong pada dirimu dan orang lain. Kamu menyiksa diri dan orang lain yang berharap padamu. Tidak, tidak, bukan orang lain, tapi ibumu sendiri."
Alin masih menunduk. Dia memang salah. Dia biarkan Rheina menelanjangi dirinya. "Lin, masa lalu itu tidak akan habisnya kalau mau dikenang. Jika kamu jadi aneh begini, berarti kamu masih dibelenggu oleh masa lalu kamu. Aku mengenalmu bukan setahun dua tahun. Tapi lebih dari lima tahun sejak kita kuliah. Tak pernah sedikitpun aku melihat kebohongan di matamu."
Alin tetap menunduk. Bibirnya tertutup rapat. Matahari sore menerobos kaca jendela metromini 49 jurusan Manggarai-Pulo Gadung yang mereka tumpangi. Lama mereka terdiam sampai akhirnya Alin berkata, " Aku harus bagaimana ya Rhei? Aku merasa berdosa sekali"
"Entahlah Lin, aku bukan orang yang tahu banyak tentang agama dan dosa. Hanya menurutku, kejujuran mesti diungkapkan meskipun pahit. Tentang jodoh, aku yakin Tuhan sudah menyiapkannya untukku. Bukankah Dia sudah menciptakan semua makhluk dengan berpasang-pasangan. Aku hanya bisa berikhtiar dan mengisi waktuku dengan kegiatan yang bermanfaat, supaya yaaah..Allah ridha padaku seperti katamu, ya kan?"
Alin semakin tertunduk. Dia jadi malu, maluu sekali. Rheina yang tidak berjilbab ternyata lebih memahami tentang keikhlasan dibanding dirinya yang sudah sejak kuliah menutup aurat. Alin tahu, meski Rheina terlihat kecewa dan marah padanya, dia sebenarnya sangat menyayanginya. Hanya dia memang orangnya sangat terus terang. Alin memandang keluar, kegersangan di hatinya begitu nyata.
***
Untuk Ibu dan Bapak
Yang Alin sayang,
Assalaamualaikum,
Bu, Pa, bagaimana kabar kalian? Mudah-mudahan Ibu dan Bapak selalu dalam lindungan-Nya. Alhamdulillah Alin juga baik-baik saja.
Bu, Pa, maafkan Alin ya. Sebenarnya Alin ingin sekali pulang ke Bandung. Sudah berapa tahun ya Alin tidak pulang. Alin kangen sekali pada Ibu dan Bapak, juga pada bunga-bunga ibu. Mawar, cattleya, melati, anggrek, dan yang lainnya. Alin rindu melihat ibu memotong mawar setiap empat bulan. Kenapa ya Alin tidak pernah bisa seperti ibu. Tangan Alin pasti tertusuk duri mawar. Alin tidak pernah hati-hati dan selalu ceroboh. Akin terlalu bersemangat. Terus, cattleya kita masih hidup? Biasanya dia tidak bertahan lama. Aduh Ibu, Alin kangen dengan pelanggan setia kita yang sangat kocak, Bu Ratna. Dia masih suka memesan melati untuk ruangan kamarnya?
Bu, Pa, sebelumnya Alin mau minta maaf. Mungkin Alin termasuk anak yang durhaka. Tapi Alin benar-benar khilaf selama ini. Alin mau jujur pada Ibu dan bapak. Alin ingin berterus terang. Alin mengaku dosa kalau sebenarnya tidak ada yang namanya Anton, Habib maupun Azizi dalam kehidupan Alin. Mereka tidak benar-benar nyata Itu hanya karangan Alin saja supaya ibu merasa tenang. Supaya ibu tidak khawatir bahwa anak gadisnya tidak laku lagi.
Alin betul-betul minta maaf. Alin sadar sekarang kalau itu suatu kesalahan. Maksud Alin tidak ingin menyakiti hati orang yang Alin cintai dengan cerita-cerita itu. Tapi apa daya, maksud yang baik jika ditempuh dengan cara yang kurang baik ternyata hasilnya sangat mengecewakan. Itu hanya membuat Alin tersiksa dan dikejar-kejar perasaan bersalah.
Alin tahu Ibu dan Bapak sangat sayang pada Alin. Makanya ibu dan bapak tidak ingin Alin melewati kehidupan yang keras ini sendiri. Ibu dan Bapak ingin Alin ada yang menjaga dan menyayangi. Itu sangat Alin rasakan. Tapi Alin tidak bisa berbuat apa-apa kalau Allah belum mempertemukan Alin dengan dia yang akan menjadi belahan jiwa Alin. Alin ini milik Allah dan selamanya akan menjadi milik-Nya. Jadi Alin bersabar saja sampai Dia berkehendak.
Bu, Pa, Alin ingin memulai semuanya dari awal. Alin tidak ingin berbohong lagi tentang calon-calon suami Alin. Ibu dan Bapak tidak usah mengkhawatirkan Alin. Alin baik-baik saja, bahkan lebih baik sekarang. Doakan saja mudah-mudahan dalam kesendirian ini Alin tetap dekat dengan-Nya. Mungkin jika boleh membandingkan, sekarang Alin lebih takut jika sendiri tanpa-Nya dibanding sendiri tanpa makhluk-Nya. Muslimah yang sabar Insya Allah tidak akan disia-siakan allah. Iya kan, Bu.
Bu, Pa, Rheina titip salam. Insya Allah bulan depan dia akan menikah di Mesjid Al Fatah, dekat kosan. Rheina begitu baik, dia banyak ‘menyentil’ Alin yang nakal ini tanpa Alin sadari. Ibu dan Bapak datang ya. Katanya dia mau memesan bunga segar dari kios kita untuk walimahannya nanti. Hm, padahal di sini juga banyak. Maunya dia yang gratisan kali Bu, hehe.
Sudah ya Bu, Pa, mudah-mudahan Allah senantiasa melindungi kalian. Maafkan anakmu yang tak pernah bisa sempurna membaktikan diri.
Wassalam
Alinda Rahmaniati.
Alin melipat kertas putih itu dan memasukkannya ke amplop. Dilihatnya Rheina sedang mencoba-coba kerudung kuning emas yang akan dipakai pada acara walimahnya nanti. Hatinya kini mulai lapang. Ternyata kejujuran lebih meringankan langkahnya. Belenggu di hatinya harus mulai dilepas satu-satu. Syukur pada Allah masih ada teman yang mengingatkan. Kalau tidak, selamanya Alin akan menjadi seorang pembohong!
Comments
Post a Comment
Terimakasih sudah meninggalkan komentar yang baik dan sopan.